teks

"Terkadang ada kesenangan yang ingin dibagi, sesekali kesedihan ingin dimengerti, suatu saat ada pula resah yang ingin berkisah"

My Social Media

alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Recomendasi Iklan

Minggu, 19 Maret 2017

selalu ada yang waktu jawab

Bulan Januari 2016. Pada suatu hari di cafe ternama yg  terletak di  pusat Kota Makassar. Pada sebuah meja bersegi empat, kami duduk berhadapan. Gelas-gelas mulai terisi penuh dan kemudian habis seiring selesainya cerita kami.

Mungkin ini sedikit yang bisa saya simpulkan selaku pendengar yang baik hari itu.. Ya, hari itu bukan saya tokoh utamanya, melainkan seorang sahabat yang sedang berjuang untuk melupakan cerita lalunya. Sahabat yang satu2nya menyapa saya dengan sebutan "om" tpi saya juga menyapanya dengan sebutan "tante".

(semua nama disini tidak akan saya samarkan..)

Wahyuni, seorang sahabat yg easy going, mulai apatis dengan keberadaan cinta, meneguk tehnya ditemani perih yang belum hilang akibat kandasnya cerita yang sempat dibangun.

“Yasudalah, ikhlasin saja. memang bukan jodohnya,”

Mencoba belajar move on akibat sakitnya dikhianati dan tidak dianggap utuh.



Hingga kamis kmarin notifikasi Blackberry Messengerku berbunyi
"Om, krumahki makan siang hari sabtu"

Sabtu itu, semua cerita sudah terbalik, pada pertemuan kembali walau bukan di tempat yang sama tapi satu benang merah yang bisa ditarik adalah...

Selalu ada yang waktu jawab..

Wahyuni. Hari ini.
sudah memiliki pria yang ia sebut dengan hormatnya sebagai kekasih, setelah lelah mencoba membukakan hati untuk orang lain.

Alunan nyanyian mengantarkan sang kekasih mengisi hatinya. Cinta mulai merekah kembali, berhamburan keluar dengan wanginya yang khas. Ketulusan dan kesucian mulai kembali menemani, senyum mulai tersungging dan harapan kembali terbangun.

"Bulan mei om! Doakan nah". Menikah? Yeahh. Tapi saya peringatkan bahwa omongannya tidak bisa dianggap sekedar candaan. Sabtu itu adalah hari dimana sahabatku ini melangsungkan acara mappetuadanya (lamaran).


Sebegitu hebatnya waktu, sehebat itulah Tuhan membolak-balikkan perasaan manusia. 15 bulan lalu kami bertemu untuk merayakan pedihnya ditinggal cinta, 15 bulan kemudian kami kembali bertemu atas kebahagiaan yang telah diraih.

Semoga lancar sampai hari H-nya tante.

Hebatnya waktu.

Selasa, 14 Maret 2017

Memang Benar Hidup Itu Pilihan

Sdah sekitar beberapa bulan ini, salah seorang teman baik saya kerjaannya ngeluh2 ke saya mengenai pekerjaan yang dianggapnya supeerrr dupeer annoying. Saya memang tidak pernah melarang dia ngeluuh apapun ke saya, karena hey that what’s friends are for kan. Jadi, keluhan demi keluhan dia saya dengarkan dengan sabar, sesekali saya abaikan.

Intinya pekerjaan dia itu membuat dia stress bukan kepalang, tiap pagi dia bangun dengan keadaan berat hati untuk pergi ngantor. Problemnya menurut saya sudah sistemik, dari mulai gaji yang dibayar kurang hingga loading pekerjaan yang tidak ada habisnya.. Pokoknya hari-hari dia stress berat dan bahkan dia bisa nangis ketika perjalanan ke kantor.

Saya, yang memang pada dasarnya terlahir sebagai seorang yang happy go lucky, jelas bingung masa ya ada spesies macam ini, yang sudahlah jelas-jelas tersiksa, tapi bukannya memutuskan resign dan cari kerjaan yang lebih sesuai passion.

Saya bukan tidak pernah berada di posisi teman saya ini, dulu jg saya prnah kerja dengan kontrak, saya juga tiap pagi dan pulang kantor ngeluh saking saya tdk suka dengan pekerjaan dan lingkungannya. Eh tapi jangan disamakan, saya tersiksa karena saya tidak punya pilihan. Mau keluar? Tidak mungkin, saat itu yang saya bisa lakukan hanya menjalani hingga selesai.

Lah teman saya ini? Variabelnya bisa berubah kok. Resign, beres.

Ngomong gampang sih.

Salah satu hal yang membuat dia bertahan di kantor itu adalah perasaan tidak enak untuk resign, karena ya dia kerja di perusahaan besar dan bergengsi (walau dibayar di bawah kemampuannya), dan dia merasa namanya besar karena perusahaan tempat dia bekerja ini.

Berbekal ketidakenakan itu, akhirnya teman saya memutuskan untuk bertahan dibanding menghadapi atasan untuk resign dan bergumul dengan ketidapercayaan diri yakin bisa diterima di perusahaan lain yang lebih baik, atau setidaknya dengan pekerjaan yang lebih baik lah.

Kemarin malam,

Saya ngopi dengan teman saya yang lain, teman saya yang ini berani meninggalkan pekerjaannya yang masuk dalam hitungan mapan finansial di Ibukota untuk pulang ke kampungnya memulai pekerjaan yang lebih tidak seksi tapi ternyata membuatnya bangun pagi lebih semangat.

Di situ, saya menceritakan masalah teman saya yang pertama, yang kebetulan juga mereka saling mengenal. Hingga gelas kami kosong, kami hanya menarik satu kesimpulan..

“Yasudalah, tidak semua orang mampu memilih dan berkata tidak untuk pekerjaan yang tidak sesuai kemauan.”

atau dalam bahasa saya,

Banyak orang terkurung dalam perasaan takutnya sendiri, terpenjara dalam ketidakenakan dan tuntutan menyenangkan banyak orang. Perasaan takut mengecewakan dan melupakan perasaan sendiri.

Myeh,

Saya sih jauh dari model begitu.

Tidak suka? Ya jangan dilakukan.

Saya cuma punya satu hidup dan satu badan kok,

Mau-mauan dipake untuk melakukan hal yang menguras emosi.

Untuk orang seperti saya, tidak punya pilihan adalah hal paling menyiksa. Untuk teman saya? Tidak membuat orang lain senang adalah penyiksaan yang lebih lagi, walau diri sendiri sama saja tersiksanya.

Kamu yang mana?