teks

"Terkadang ada kesenangan yang ingin dibagi, sesekali kesedihan ingin dimengerti, suatu saat ada pula resah yang ingin berkisah"

My Social Media

alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar alt/text gambar

Recomendasi Iklan

Jumat, 24 Agustus 2018

berdoa untuk berterimakasih

Saya tidak pernah dididik oleh Orangtua saya untuk mengeluh, apalagi mengeluhkan hal kecil. Saya masih selalu ingat bagaimana mereka mendidik saya untuk selalu bersyukur dengan rentetan cerita beliau mengenai masa kecilnya yang susah, masa mudanya yang kelam dan tentang lompatan-lompatan hidupnya yang bila ada kata “menyerah” dan “berkeluh kesah” di kamus mereka, mungkin sekarang ini saya tidak ada.

Itu sedikit cerita tentang orangtua saya.

ada kalimat penting yang terpatri tepat di hati “Ketika berdoa, selain untuk meminta, yang didahulukan adalah berterimakasih.”

Bertahun-tahun saya hidup dan kalimat tersebut baru benar-benar saya bisa maknai. Harus saya akui, hidup saya sebagai seorang anak manusia tidak bisa masuk ke dalam kategori “susah” apalagi “melarat”, lagi-lagi terima kasih untuk Orangtua saya khususnya Atta karena tidak pernah sekalipun menyerah juga pasrah untuk hidupnya, dan hidup keluarganya.

Tapi ada yang tidak pernah saya sangka adalah, bahwa memutuskan untuk tak lagi bergantung ke orang tua itu, ternyata seperti bahu memikul batu besar tapi ia tetap di sana, bagaimanapun kita mencoba menyingkirkan. Seringan-ringannya, beban itu ada. Saya bukan pencerita mengenai masalah yang dihadapi, maupun deretan aib yang telah saya lewati, jadi mari abaikan saja tentang diri saya hari ini, karena saya mau bercerita mengenai saya, yang ternyata..

begitu sering berpangku tangan dengan hal bernama “doa”.

Sebagai seorang beragama, jelas orangtua saya mengajari saya untuk berdoa. Untuk meminta, dan memasrahkan segala daya upaya yang telah dijalankan. Mengangkat tangan ke atas, seakan mengkhawatirkan kuasa Allah Sang Pemberi Rezeki. Dengan bahasa parau, bersujud meminta, sepasrah-pasrahnya.

Setelah selesai berdoa, maka hidup tetap berjalan. Mencari apa yang kita tuju, menemui apa yang kita mau. Lalu, kita kembali berdoa.

Meminta agar apa yang tadi kita upayakan, menjadi nyata. Lalu siklus tersebut berulang, dan baru berterima kasih, ketika doa yang kita panjatkan dengan susah payah itu menjadi nyata.

Malam ini, saya melihat seorang kakek tua yang masih menjajakan barang dagangannya yang tidak seberapa di pinggiran jalan. Saya, yang dengan segenap sisa kekuatan untuk kembali pulang ke rumah, untuk kembali menjalani ritual doa saya untuk mendapatkan hasil akan ikhtiar yang saya lakukan.

Kakek tersebut, masih di jalan. Menjajakan dagangannya.

Hati perih,
Bukan hanya karena merasa mengapa dunia tidak adil memberikan cobaan begitu beratnya pada sosok sepuh yang tenaganya tidak seberapa, bukan hanya karena saya harus bersyukur bahwa saya sedang berada dalam posisi yang nyaman, walau sedang sama-sama berjuang. Saya dan kakek itu sama, kita sedang sama2 berjuang.

Saya tidak mengenal kakek tersebut, tidak sama sekali. Maaf Ya Allah, saya tidak kuat untuk mendekati kakek tersebut untuk membeli dagangannya karena emosi saya tidak mengizinkannya, karena saat itu, hati saya sehancur itu.

Tapi, omongan orangtua saya terngiang tentang pentingnya berdoa untuk berterimakasih.

Lelah, frustrasi, marah dan hampir menyerah adalah awal dari kurangnya berterimakasih dalam doa. Saya, terlalu fokus untuk meminta, lupa untuk berterimakasih. Saya, terlalu menghamburkan tenaga untuk berjuang, terlalu sedikit menyisihkan kelapangan hati untuk sekedar bilang kepada Allah..

“Terima kasih ya Allah, hingga hari ini saya masih diberi kesempatan untuk hidup. Diberikan kekuatan untuk berjuang, diberikan nikmat iman untuk percaya bahwa Engkau itu ada. Bahwa Engkau selalu mendengar doa-doa baik yang dipanjatkan.”

indeed, we have our own battlefield,
tapi Allah Maha Adil, kawan.

Karena seberapapun berbedanya area perang kita yang sedang diperjuangkan, Ia memberikan perasaan yang sama,

tinggal kita,

mau berterima kasih, atau tidak.